INTEGRASI FISIKA,
AGAMA DAN FILSAFAT DALAM PUISI
|
Apa yang dimaksud dengan
fisika? fisika dapat dideskripsikan sebagai ilmu yang mempelajari gerak,
energi, kalor, gelombang, bunyi, cahaya, listrik, magnetisasi, materi, atom,
serta inti atom. Deskripsi ini tentu saja didasarkan pada pengertian fisika
secara kurikulum pendidikan. Lebih dari fenomena-fenomena yang tersebut di
atas, fisika merupakan ilmu yang mempelajari tentang proses. Sebuah proses
yang utuh, proses yang terjadi dari awal semesta ini terbentuk hingga
prediksi bagaimana semesta ini bekerja sampai selesai. Proses ini terbagi
menjadi dua bagian utama, pertama adalah akusisi pengetahuan ke dalam
lingkungan fisik dan kedua adalah aspek yang paling menarik, yakni
penciptaan sudut pandang untuk memahami suatu informasi secara signifikan.
Kedua aspek ini tidak bekerja secara independent melainkan saling mendukung.
Untuk memahami suatu fenomena alam dibutuhkan sudut pandang daan sebaliknya.
Ilmu fisika sendiri sudah
dipelajari sangat lama. Bahkan ilmu fisika merupakan ilmu pengetahuan alam
tertua yang menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan alam yang lainnya. Beberapa
pendapat bermunculan dalam menentukan seberapa lama usia ilmu fisika. Diduga,
ilmu fisika dimulai dari Eropa Barat pada massa Renaissance, yaitu pada masa
kejayaan Copernicus, Galileo, Kepler, dan Newton. Dugaan lain mengatakan bahwa
ilmu fisika dimulai pada masa Yunani Kuno dan awal Ionian, Thales, dengan
menjadi fisikawan pertama di dunia. Selain dugaan-dugaan tersebut di atas,
masih banyak lagi yang berpendapat bahwa fisika dimulai pada masa
Mesopotamia, Mesir, dan Cina. Terlepas dari seberapa lama ilmu fisika, hal
mendasar yang tidak bisa dipungkiri adalah ilmu fisika merupakan ilmu yang
lahir bersama manusia pertama di planet ini dan ilmu ini terus ada sampai
proses kehidupan berhenti.
Beberapa orang memilih menjadi
ilmuwan dengan tujuan untuk bertahan hidup. Mereka menyadari bahwa
objek-objek dalam lingkungan fisika memiliki fungsi tertentu. Berangkat dari
kesadaran ini, para ilmuwan terus menggali dan meneliti peranan-peranan dari
objek-objek fisika. Berikutnya, mereka melakukan pemilahan terhadap
objek-objek tersebut dan mengkarakterisasi peranan objek tersebut untuk
kepentingan kehidupan. Setelah proses inilah teknologi diciptakan. Dibalik
penciptaan teknologi ini sudah tentu metode ilmiah menjadi dasar
pemikirannya. Dimulai dari observasi hingga generalisasi atau pembuatan
hipotesa untuk diuji. Pada masa purba, generalisasi yang dibuat tidak dalam
bentuk teori, melainkan dalam bentuk peralatan yang dapat dipakai. Contohnya
saja alat-alat berburu, bercocok tanam, penyembahan, hingga ke obat-obatan
herbal. Penemuan semacam ini tentu saja membutuhkan tingkat pengalaman yang
sangat tinggi dalam ilmu pengetahuan. Beberapa orang menganggap hal tersebut
merupakan penemuan teknologi, bukan ilmu pengetahuan. Biasanya ilmu
pengetahuan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan
informasi dasar, sedangkan aplikasinya pada suatu masalah didefinisikan
sebagai teknologi. Pada kenyataannya, pencapaian teknologi selalu didahului
dengan ilmu pengetahuan. Penggabungan ilmu pengetahuan dan teknologi
menentukan seberapa besar kapasitas ilmu pengetahuan tersebut.
Kedua aspek dalam fisika tentang
akuisisi informasi dan penciptaan sudut pandang memiliki kesamaan umum yakni,
keduanya menyediakan jaminan kenyamanan dan keamanan. Aspek pertama
berkontribusi dalam keamanan material. Pengetahuan tentang lingkungan fisika
dan bagaimana objek-objek tersebut merespon saat diberi gangguan adalah
esensi penting untuk merencanakan sesuatu yang baru. Fakta-fakta yang
diperoleh dari aspek pertama ini menjadi awal munculnya suatu teknologi baru.
Aspek kedua merupakan sintesis dari fisika, bagaimanapun juga, seseorang
memperoleh kenyamanan psikologis dengan memiliki sebuah pandangan umum.
Pandangan umum ini sangat erat kaitannya dengan filsafat dan agama dan bukan
fisika. Hal ini menjadi sebuah batu sandungan bahkan di masa yang serba
modern ini. Harus diingat bahwa pada masa preliteratur, ilmu fisika, agama,
dan filsafat saling terintegrasi. Hal ini dapat dilihat pada budaya Yunani
Kuno yang mengintegrasikan filsafat dan agama bersama fisika. Mungkin
kesalahan manajemen sumber material dan lingkungan saat ini dapat diatasi
jika agama, filsafat, dan fisika kembali berintegrasi.
Ilmu fisika terus berevolusi
sepanjang waktu hingga sampailah pada kebangkitan fisika modern. Fisika
modern merupakan revolusi pemikiran yang dibawa oleh Copernicus, Galileo,
Kepler, dan Newton pada tahun 1500-1700. Sebelum revolusi ini,
pemkiran-pemikiran Eropa telah didominasi oleh kereligiusan. Selama abad
pertengahan, semua hal yang terjadi di alam selalu dikaitkan dengan sesuatu
yang bersifat ke-Ilahian dan berhubungan dengan sesuatu yang ghaib. Selama
masa Renaissance ada peralihan besar yang terjadi, dimana pola pikir
God-Centered dari abad pertengahan beralih menjadi Men-Centered. Namun,
orang-orang berpendidikan kala itu yang tertarik kepada ilmu pengetahuan alam
masih meletakkan dasar keyakinan dan keimanan mereka kepada Satu Tuhan.
Copernicus, Kepler, Galileo, dan Newton adalah pencetus revolusi ilmu
pengetahuan alam dan mereka adalah orang-orang yang sangat religius yang
meyakini segala sesuatu yang mereka temukan adalah atas kuasa Tuhan. Pola
pikir Renaissance ini tergambar dalam puisi John Donne, The Ecstasy, yang
menggunakan konsep atom:
We then, who are this new soul,
know,
of what we are compos’d, and made
For, the atomies of which we grow,
are souls, whom no change can
invade. (Logan,
2001: hal. 67)
Dalam puisinya yang lain, Love’s
Alchymie, John membandingkan dua pecinta dengan alkemis. Puisi ini lahir
akibat pertentangan antara paham geosentris dan heliosentris pada masa itu.
Meskipun pada akhirnya, Donne lebih mendukung paham heliosentris yang
dicetuskan oleh Tycho Brahe. Puisi-puisi John Donne menunjukkan sikap
penerimaan terhadap ilmu pengetahuan sekaligus menunjukkan sikap skeptiknya
terhadap ilmu pengetahuan. Donne adalah seorang yang religius dan meyakini
semua ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan. Baginya, ide-ide ilmu
pengetahuan bisa datang dan pergi, namun keyakinan kepada Tuhan akan terus
bertahan, seperti tertuang dalam puisinya, The Second Anniversary:
Why grass is green, or why our
blood is red
Are mysteries which none have
reach’d into.
In this low form, pour soul, what
will thou do?
When wilt thou shake off this
pedantery
Of being taught by sense and
fantasy?
Thou look’st through spectacles,
small things seem great
Below, but up onto the watchtower
get
And see all things despoil’d of
fallacies
Thou shalt not peep through
lattices of eyes,
Nor hear through labyrinths of
ears, nor learn
By circuit or collection to
discern.
In heaven thou straight know’st
all concerning it.
And what concerns it not, shalt
straight forget. (Logan,
2001: hal. 68)
Perubahan pola pikir terhadap ilmu
pengetahuan mulai berkembang pada awal abad 17 ketika Galileo, Keppler, dan
beberapa ilmuwan lainnya berhasil menguak misteri alam semesta, yang membawa
Newton pada terobosan terbesarnya sepanjang abad. Pola pikir baru ini
dituangkan dalam bentuk filsafat oleh tiga pemikir hebat pada masa itu,
Francis Bacon (1561–1626), Thomas Hobbes (1588–1679), dan Rene Descartes
(1596–1650). Ketiganya adalah filsafat ulung sekaligus matematikawan dan
fisikawan. Filsafat mereka diuji secara ilmu pengetahuan dan mempengaruhi
pola pikir para ilmuwan hingga saat ini. Ketika Newton berhasil membahasakan
secara matematis gerak matahari terhadap planet lain dalam kerangka gravitasi
bumi, hal ini merupakan terobosan terbesar sepanjang masa. Diakuinya bahwa
penemuannya didasari oleh keyakinannya kepada Tuhan seperti dalam Alkitab
Injil. Pandangan religius ini tertuang dalam puisi Addison:
The spacious firmament on high,
With all the blue ethereal sky,
And spangled heavens, a shining
frame,
Their great Original proclaim:
The unwearied Sun, from day to
day,
Does his Creator’s power display,
And publishes to every land,
The work of an almighty Hand. (Logan, 2001: hal. 71)
Setelah ditelaah dari awal lahirnya ilmu fisika, para pencetus ilmu fisika
adalah orang-orang yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi.
Kepercayaan mereka membantu mereka menemukan terobosan-terobosan luar biasa
yang membawa peradaban baru dalam kehidupan saat ini. Puisi menjembatani
kereligiusan dan keunggulan fisika. Puisi membahasakan filsafat yang
mendasari pola pikir para ilmuwan. Puisi juga membahasakan penemuan-penemuan
yang sifatnya matematis dan mekanis ke dalam suatu fenomena alamiah.
Puisi-puisi yang ditulis pada masa itu mengembalikan kesadaran manusia yang
berpendidikan bahwa sumber dari segala ilmu pengetahuan adalah tidak lain
selain Tuhan Yang Esa.
Puisi telah menjadi bahan diskusi selama 2000 tahun terakhir (Crawford, 2006:
hal. 12). Selama itu pula ilmu pengetahuan mengalami perkembangannya secara
pesat. Kedua objek ini saling melengkapi dalam keberjalanannya. Puisi
merupakan potret abadi bagaimana ilmu fisika berkembang. Potret ini bukan
hanya sekedar mengabadikan sebuah kisah dalam bait kata-kata namun sekaligus
menjadi pengingat dan pengembali kesadaran akan eksistensi manusia di bumi. Puisi tidak pernah membuat pernyataan langsung
tentang sesuatu, tetapi tentang Menjadi, sebagai usaha murni dan sederhana
(Heidegger, 2001: hal. 100). Kemampuan penyair untuk melibatkan pembacanya
dalam pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi gaya gravitasi sebuah puisi.
Puisi-puisi yang ditulis berkaitan dengan fisika memiliki kekuatan grafitasi
dalam menggabungkan unsur ilmu pengetahuan, agama, dan filsafat.
Lalu bagaimanakah sikap kita
sebagai fisikawan? Akankah kita akan senantiasa mengikuti paradigma yang
semakin mengglobal bahwa fisika dan agama tak dapat berintegrasi? Jika kita
meyakini bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi di semesta ini adalah
ciptaan Tuhan Yang Esa, mengapa harus ada pengecualian untuk integrasi fisika
dan agama? Puisi-puisi yang mendokumentasikan kecerdasan para fisikawan serta
kekuatan religius mereka hendaknya menjadi cermin dalam mepelajari ilmu
fisika serta taat dalam kehidupan religius. Semoga kecerdasan yang kita
bangun tidak hanya memuliakan kehidupan antar sesama semata, namun memuliakan
Sang Pemilik Kehidupan juga. (el)
Referensi:
1.
Logan, Robert K. 2001. The
Poetry of Physics and The Physics of Poetry. Canada: World Scientific Publishing
2.
Crawford, Robert. 2006. Contemporary
Poety and Contemporary Science. New York: Oxford University Press Inc.
3.
Heidegger, Martin. 2001. Poetry,
Language, Thought. New York: HarperCollins Publisher Inc.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar